Sunday, January 10, 2010 10:22 AM
"—TIDAK!"
Aku menatapnya galak. Memasang ekspresi yang terang-terangan menolak atas apa yang tengah ia ajukan padaku; hal mustahil dan tidak mungkin untuk aku laksanakan bahkan untuk menurutinya saja enggan. Sempat aku terdiam mendengarnya, hampir terkecoh, dan pada akhirnya kata penolakan itulah yang keluar dari bibirku.
Sepupuku, Hikari, ternyata lebih
gila dari apa yang kubayangkan. Dan kukira aku sudah mengenalnya dengan baik!
"AYOLAH!" Teriaknya, kembali memaksa dan semakin mengacungkan benda itu ke arahku, "Kan cuma COBA! Lagipula belum pasti akan kita beli atau tidak," celetuknya dengan nada setengah kesal. Aku kembali menggeleng, menggigit bibir bawahku dan menatapnya ragu. Penolakan itu masih terpancar dari mataku, namun mata Hikari sebaliknya. Ia benar-benar memaksaku untuk memakai
itu. Katakanlah sekarang aku bertingkah kekanakan di luar diriku pada normalnya, tapi—
"—tidakkah ada yang lain?" Menelan ludah, aku coba bertanya. Kalau ada pilihan lain mungkin aku akan kembali berpikir untuk memakainya, tapi kalau Hikari tetap memaksaku—astaga. Apa aku lebih baik lari saja? Hikari menggeleng keras, berjalan ke arahku dan menjejalkan satu set pakaian itu padaku. Ah, ini pertanda aku harus menyerah. Tatapan Hikari benar-benar tidak membuatku nyaman sekarang, yang berarti aku terpaksa menuruti kemauannya.
"Baiklah," ujarku seraya menghela nafas berat dan menggenggam pakaian itu dengan ragu, sebenarnya masih sedikit enggan. Kupandangi benda yang ada di tanganku itu dan mengerling pada Hikari, "cuma coba, ya," aku menatapnya tajam, menghentikan langkahku di luar Kamar Pas. Entah mengapa ada sedikit perasaan tidak enak ketika kusadari tadi Hikari sempat terkikik pelan—ada sesuatu yang tidak beres. Aku tahu. Tapi—
"Iya, iya! Sudah, sana masuk," ia membuka tirai dan mendorongku masuk ke dalam, meninggalkan aku sendirian ketika tirainya di tutup. Hikari menunggu di luar, katanya. Aku sendiri menengadah, menatap lurus cermin di hadapan dan mengangkat apa yang diberikan Hikari padaku—menempelkannya pada tubuhku dan kembali menghela nafas berat.
Swimsuit two-pieces warna kuning lembut dengan garis cyan.Apa sih yang ada di otak sepupuku itu?
—o0o—
"Sudah selesai?" Aku terkesiap menyadari sepupuku itu menyibak tirai sedikit, mengintip dari luar tepat ketika aku sedang mematut di depan cermin dan membenahi beberapa bagian yang terasa tidak nyaman. Swimsuit ini terlalu—
terbuka, menurutku. Aku tak terlalu nyaman dengan ini sebenarnya, kebanyakan swimsuit yang kumiliki adalah
one-piece; itupun lebih sering kugunakan ketika kegiatan Klub Renang. Aku membalikkan badan dan mendapati Hikari sudah berada di hadapanku sekarang, dengan mimik serius bahkan sesekali mengangguk. Bak sedang memastikan sebuah benda antik.
"Aku merasa—sedikit aneh," lirihku pelan namun tak dihiraukan oleh Hikari, karena detik berikutnya sepupuku itu nyengir lebar dan menepuk-nepuk bahuku; sepertinya hendak menenangkan aku bahwa yang kurasakan itu hanya karena masih belum biasa.
"Tenang, tenang! Karena baru pertama kali makanya agak terasa sedikit aneh. Bagus kok, cocok untukmu," senyumnya lebar seraya membalikkanku kembali menhadap cermin. Kedua tangannya berada di bahuku. Aku menatap bayanganku di cermin, benar-benar tidak yakin dengan apa yang kulakukan—aku benar-benar tidak terlalu suka pakai yang
beginian. Bagian perut rasanya dingin.
"Kau harus mulai terbiasa dengan ini, Karen," Hikari menepuk-nepuk pundakku, "setidaknya kau harus berbuat sesuatu sebelum si Izumi berpaling—"
Bicara apa dia barusan?
"—m-maksudku, di usiamu sekarang adalah hal yang biasa untuk memakai model swimsuit seperti ini," lanjut Hikari dengan agak terbata, membuatku sedikit curiga, namun sepupuku itu terburu mengalihkan pembicaraan dengan cara menyibak tirai penutup dan melangkah mundur, cengiran miris tertera di wajahnya. Aku benar-benar curiga dengan segelintir kalimat yang tak sengaja keluar dari bibirnya barusan—mengapa ia menyebut-nyebut nama Sei? Jelas tidak ada Izumi lain yang ia ketahui selain Sei.
Gelisah, aku membalikkan badan dan menyibakkan tirai, masih dalam balutan swimsuit berwarna cerah itu. Tirai hanya kubuka sebagian, namun cukup untuk menampakkan penampilanku saat ini juga—ketidaksengajaan yang akhirnya berujung petaka. Setidaknya menurutku.
"Hikari—"
Dan kalimatku terhenti sampai disitu begitu menyadari siapa yang tengah menganga lebar di sebelah Hikari sekarang. Dari tatapannya aku tahu ia sama terkejutnya denganku.
"—Karen?"
Kamisama.
"S-Sei?"
Tolong sembunyikan aku sekarang juga. DIMANA SAJA, KAMISAMA! Astaga, aku sama sekali tidak mengharapkan keberadaannya saat ini, detik ini, ketika penampilanku masih—YA-TU-HAN. Yang aku tahu adalah detik berikutnya, kuraih tirai terburu-buru dan menutup Kamar Pas tersebut dengan panik. Jantungku rasanya lepas dari posisi awalnya belum lagi ditambah dengan degup begitu cepat—aliran darahku serasa berkumpul semua di kepala. Aku yakin wajahku pasti kini tengah merah padam, siapa yang tidak? Aku tidak habis pikir bagaimana Sei berada disini, tanpa sepengetahuanku—Hikari bahkan tak bicara apapun padaku. Sengaja atau tidak?
Yang pasti sekarang aku sangat malu.
Malu. Mendapati Sei melihatku dengan penampilan seperti ini adalah hal yang sama sekali tak pernah kubayangkan, walau sebenarnya bisa dikategorikan biasa saja jika aku memakai one-piece. Kami sama-sama berada di Klub Renang, lagipula, namun untuk soal two-pieces—aku tak berani membayangkan apa yang ada di pikirannya saat ini setelah melihatku.
Aku harus membuat perhitungan dengan Hikari. Lihat saja!
"HUWAHAHAHAHAHAHAHA! SEDANG MELAWAK, EH?!"
—oke. Bukan reaksi seperti itu yang kuharapkan. Gelak tawa. Dua menit kudengar tawa kurang ajarnya itu di balik tirai, membuatku menggigit bagian bawah bibir dan entah mengapa kepalan tanganku mengeras. Rasanya ingin sekali menghajar anak itu sekarang juga! Apa maksud dari tawanya itu? Mentertawakanku? Oh, ya, pastinya. Memangnya ada objek lain disini?
"Sei-kun! Tidak sopan!" Hikari berusaha mendiamkan Sei di luar sana. Dan aku tahu betul usahanya sia-sia.
"Habisnya—kau tidak pantas pakai itu, Karen. Serius!"
Boleh aku keluar dan menamparnya?
"APA MAKSUDMU?" Dan pada akhirnya aku terpancing dengan sederet kalimat yang keluar dari bibir Sei barusan. Berbalik dan membuka tirai yang ada di hadapanku dengan emosi (geram, bahkan) dan rasa kemarahan di ubun-ubun—ah, kucerna kata-kata Sei beberapa detik lalu sebagai sebuah
ejekan. Lagi-lagi aku terpancing.
Jebakan?
Entah.
Kutatap galak Sei yang ada di hadapanku saat ini, menggigit bagian bawah bibirku. Aku tidak peduli bagaimana penampilanku sekarang; benar-benar lupa bahwa swimsuit berwarna cerah itu masih menempel di tubuhku dan memperlihatkan hampir semua bagiannya—terutama perut. Tidak, kemarahan dan emosi sudah membalutku dengan sempurna. Melupakan segalanya.
Aku ini kenapa, omong-omong?
"Ya—" Sei menghentikan tawanya, bergerak mundur namun kulihat ia masih menahan tawa, "—tidak cocok. Benar-benar—HMPF," dan pipinya kini semakin menggembung, tawanya masih tertahan, namun beberapa detik kemudian kembali menggelegar. Aku tertunduk, kedua tanganku mengepal. Mataku menyipit dan menatapnya galak, kugigit bagian bawah bibirku keras-keras pertanda bahwa aku sudah tidak tahan lagi dengan tawanya. Hikari menatapku dengan pasrah, jelas sekali ia merasa bersalah. Aku mendengus.
"Kurasa Sei-kun hanya bercanda," ujar Hikari kemudian berusaha menenangkan suasana dan menghampiri Sei dengan tangan berada di pundak pemuda itu, "model dan warnanya sangat cocok kok dengan Karen! Ya kan, Sei-kun? Ah, Karen, mungkin Sei-kun hanya malu saj—"
"Aku tidak bercanda, senpai. Karen memang tidak cocok pakai yang begin—HMPF—HUAKAKAKAKAK!"
Kamisama. Boleh minta lubang terdalam menuju pusat bumi sekarang juga? Dan dua baskom air untuk menyiram sepupuku itu? Seharusnya tak kuturuti permintaannya, aku jadi merasa bodoh.
Sangat bodoh.
PLAKK!Tanganku bergerak, melayangkan sebuah tamparan ke pipi kanannya. Aku menarik nafas dalam, menurunkan tanganku dan menatapnya perih. Dan bisa kurasakan ada yang jatuh mengalir di pipiku. Emosiku benar-benar tak terkontrol sekarang. Dan semua ini hanya karena sebuah kalimat yang keluar darinya.
"Terima kasih atas
pujianmu,
Seishirou."
Mana tahu dia kalau sekarang rasanya ada yang merobek-robek bagian dalam tubuhku? Rugi rasanya jantungku sempat berpacu cepat ketika tahu Sei melihatku dalam keadaan begini. Aku sendiri bingung mengapa begitu mengharapkan darinya keluar kata pujian tulus—aku belum pernah menerima itu darinya. Membalikkan badan dan kembali menutup tirai pembatas itu, aku menatap cermin. Sadar bahwa air mata itu masih mengalir.
Sei tega.
Labels: 1st POV, Fan-Fiction, Karen-Sei
Wednesday, January 6, 2010 12:01 PM
"Bagaimana?"
Pertanyaannya mengusik bacaanku. Menengadahkan kepala dan mengernyit, kuberikan pandangan bertanya : pertanda bahwa aku tak mengerti maksudnya. Bertanya soal penampilannya hari ini? Atau kacamata aneh yang bertengger di hidungnya? Atau--
"Aku keren, tidak?"
Tuh kan.
"Apa-apaan sih? Lepaskan itu," ujarku lirih dengan nada agak tajam, menghela nafas berat. Kacamata hitam berbentuk Kunci G Tangga Nada itu jelas menggangguku; ia terlihat sangat konyol. Tak habis pikir mengapa Sei memiliki benda itu--oh, ralat : ini
Sei yang aku bicarakan. Ini adalah salah satu 'keajaiban' yang dimilikinya selama lima tahun aku mengenalnya.
"Aku serius bertanya padamu, Karen!" Kacamata ganjil masih menutupi matanya, membuatku bergidik dan buru-buru mengalihkan pandangan kembali pada bacaan, "Kacamata ini keren, tahu! Cuma aku yang punya."
Aku menggulirkan bola mata malas. Sudah kesekian kalinya Sei bicara demikian.
"Dan semua orang tidak sepintar kau untuk menggunakannya di dalam kelas seperti ini, Seishirou Izumi."
Ya. Mungkin aku akan sangat maklum jika Sei menggunakannya di luar kelas--tapi, di dalam? Kurang gila apalagi anak itu? Demi Dewa Tengu, bisa-bisanya aku sekelas dan sebangku
lagi dengannya (empat tahun berturut-turut dengan posisi sama!) walau hal tersebut membuatku jadi kebal dengan sederet tingkah ajaibnya--dan rata-rata kesemuanya berhubungan dengan tradisi keluarga. Aneh : tapi nyata. Aku masih belum mengerti sepenuhnya tradisi Keluarga Izumi.
Sepertinya yang normal hanya Kiyoshi-san, ayahnya.
--dan Sei masih tidak melepaskan kacamata itu. Astaga. Padahal sudah lima menit berlalu sejak kedatangan Mori-sensei di dalam kelas, dan bisa kurasakan tatapan tajam tengah mengarah padaku serta Sei. Intinya cuma satu : err--kacamatanya Sei mengganggu. Mori-sensei tak perlu banyak bicara, cukup satu tatapan tajam pada korban dan semua masalah seolah selesai.
Aku melirik Sei yang duduk di sebelah kananku, berbisik dari ujung bibir sembari berusaha tersenyum pada Mori-sensei, "Lepas kacamatamu."
"Tidak mau."
Kamisama. Tingkahnya masih saja seperti balita. Padahal usianya sudah delapanbelas.
"Lepas kacamatanya,
Seishirou. Kau tidak lihat apa tatapan Mori-sensei barusan?"
"Tadi kau panggil aku apa?"
Seishirou?"Bilang aku keren, baru kulepas kacamatanya," ujar Sei setengah merengek, membuatku menarik nafas dalam.
Lihat?
Dasar bocah. Mataku mengerjap tak percaya mendengar permintaannya barusan. Astaga, kapan sih Sei dewasa? Aku tahu ia terkadang kekanakan, tapi kalau sudah begini--
Kamisama. Aku mengulum bibirku dan menatapnya ragu, berpikir apakah harus menuruti kemauannya itu. Sei malah nyengir lebar padaku dengan kacamata bodoh di hidungnya, membuatku menahan tawa, "Kau KEREN, Sei. Keren."
Dan dia menolak, "Karen! Yang barusan itu kau tidak tulus mengatakannya!"
Aku hanya tersenyum kecil padanya. Ternyata ketahuan.
"Harus tulus, baru aku mau lepas kacamata ini," pintanya lagi disertai dengusan kecil, membuatku menaikkan alis dan menatapnya agak galak.
"Kau ini kenapa, sih?" Tanyaku. Terdengar dari nada bicaranya bahwa Sei sepertinya agak sewot. Ekspresinya jadi serius sekarang, dan kacamata konyol itu benar-benar merusaknya. Wajah serius dipadu kacamata
bling-bling bukanlah ide bagus jika ingin bertingkah galak pada orang lain, kuakui itu. Lima detik lamanya aku menunggu jawaban, dan apa yang dilontarkannya membuatku terperanjat.
"Ternyata memang lebih keren Papaku?"
Ha?
"Kau bisa bilang keren ketika melihat Papa memakai kacamata. Kenapa aku tidak?"
--oke. Aku benar-benar tidak mengerti ada apa dengan Sei hari ini. Dahiku mengernyit, mataku kembali menatapnya kebingungan, sementara bibirku tak terkatup rapat. Anggaplah aku sedikit bingung mengaitkan soal kacamata-keren ini, karena seingatku Kiyoshi-san--
"Karena
Papamu pakai kacamata hitam NORMAL," jawabannya mudah saja, toh? Aku mendengus pelan sembari menggulirkan malas bola mataku padanya, masih agak bingung sebenarnya. Sei kembali bicara, dan kali ini masih terlihat tidak puas.
Aku tahu dia cemburu.
Aku tahu.
"Kacamata yang kupakai ini termasuk NORMAL!" Bantahnya dengan suara pelan agar tak terdengar Mori-sensei di depan sana, yang masih mengawasiku dan dirinya dengan tajam. Keuntungan duduk di bangku belakang, kupikir. Aku menghela nafas panjang, kembali menatapnya. Tidak, tidak, kali ini aku mengamati kacamata unik yang ia bilang NORMAL itu, kembali menahan tawa. Mengetuk permukaan lensa tidak berminus itu pelan.
"Ini tidak NORMAL, Sei. Ini ABSURD."
Terlalu kasar? Oh, hanya itu yang ada di pikiranku ketika melihatnya pertama kali. Lagi-lagi, Sei membantah. Astaga, ngotot sekali dia?
"Ini UNIK, Karen. BUKAN ABSURD," dengusnya.
--dan kenapa kami bertengkar soal kacamata, sekarang?
Aku tersenyum, mengulurkan tanganku dan menggapai kacamata berbentuk aneh itu--melepaskannya dari Sei, tidak peduli akan keterkejutannya mikrodetik kemudian. Ia marah, ngambek, terserah--yang pasti tatapan Mori-sensei dari depan kelas sungguh membuatku tidak nyaman. Kutatap kedua bola mata Sei lekat-lekat, berbisik pelan padanya.
"Kau lebih keren tanpa kacamata ini, Sei. Percayalah."
Jujur : dia memang lebih keren
begini.
"Dan bukan berarti kau tidak keren kalau pakai kacamata hitam. Hanya saja--" aku menarik nafas dalam, "--jangan
yang ini, oke?" kuacungkan kacamata aneh yang gagangnya sudah kulipat itu padanya sembari tertawa kecil, dan beberapa detik kemudian ia ikut tertawa. Matanya menatapku lekat, senyumnya mengembang--dan Sei tidak akan tahu rasanya jantungku hampir mencelos keluar sekarang juga. Entah semburat merah itu ada di pipiku atau tidak, aku balas tersenyum padanya, tipis, hingga pada akhirnya aku mengulurkan tanganku lagi dan bergerak mencubit pipi kirinya. Kebiasaan yang selalu kulakukan untuk menutupi rasa maluku. Salah tingkah.
Aku hanya tertawa ketika ia mengaduh.
"Sudah kukatakan, aku tak suka pipiku dicubit!" Keluhnya sembari menyingkirkan tanganku, "Memangnya aku bayi, apa?"
"Kalau kau tanya soal pipimu--iya," ujarku sembari tertawa kecil. Sei mendengus.
"Sepertinya aku masih jauh dari kata keren, ya, bagimu?" Ujarnya santai, dan Sei benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibirku terkatup rapat, pandanganku lurus ke depan dan bisa kurasakan pipiku memanas. Entah apa maksud dari kata-kata Sei, yang jelas membuatku agak--malu. Mori-sensei kini sudah mulai menjelaskan pelajarannya, dimana kata-katanya sama sekali tak masuk ke otakku gara-gara kalimat dari Sei.
Jadi daritadi itu--ia
memancingku?
"Aku dan Papa," Sei kembali bicara dan membuatku hampir jatuh dari kursi mendengarnya. Ah, parah sekali salah tingkahku ini, "siapa yang lebih keren?" Tanyanya dengan nada serius dan menatapku lekat lagi, benar-benar mengharapkan jawaban. Aku hanya bisa menganga dan menatapnya bingung (lagi), tahu ia berusaha
memancing lagi. Tapi dalam hatiku ada sedikit perasaan senang; karena sejak awal ia sepertinya takut aku lebih tertarik pada ayahnya dibanding ia.
Kecemburuan yang konyol? Inilah Sei.
"...Kau."
Dan kuharap ia puas. Tahu tidak kalau wajahku sekarang sudah seperti kepiting rebus?
Labels: 1st POV, Fan-Fiction, Karen-Sei
Thursday, October 22, 2009 4:55 AM
"Jam sebelas malam—Kuil Shiroitsu. Bagaimana?"
Aku mengangguk kecil.
Hikari tersenyum puas, setidaknya itulah yang kulihat. Kurasa wajar saja, karena memang hampir beberapa tahun belakangan ini rasanya sulit sekali untuk berkumpul bertiga, karena itulah jangan heran ia nampak antusias dengan rencananya sejak dua hari lalu. Junichi dan Hikari sama-sama telah memiliki pekerjaan, walau Hikari pada akhirnya memutuskan untuk kuliah lagi—di Universitas Tokyo.
"Di tempat biasa, bukan? Gerbang Torii kelima," sungguh hingga saat ini aku tak tahu ada berapa jumlah Torii di Kuil Shiroitsu saking banyaknya, berjejer rapi membentuk satu barisan, "tapi—setengah dua belas bukannya terlalu mepet sekali waktunya? Kau sendiri tahu betapa ramainya tempat itu setiap tahun baru, Hikari-chan."
Tersenyum lagi. Sungguh tak bisa kuartikan.
"Ini hari libur," keluhku, karena tak habis pikir bagaimana Hikari (dan Junichi) masih bisa bekerja di hari menjelang tahun baru itu, "memangnya kalian tak ambil cuti?" Memang terdengar sangat bodoh, bekerja mendekati hari libur nasional. Dan percayakah kalian aku meragukan alasan yang keluar dari mereka berdua?
Harus percaya. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, mereka berdua sepertinya menyembunyikan sesuatu.
Tanpa sepengetahuanku. Padahal sebelumnya, Hikari dan Junichi selalu terbuka padaku—terutama Hikari.
Nampaknya—aku harus sedikit berhati-hati.
"Jatah cutiku sendiri sudah habis," tawa Hikari miris, "Jun-chan ada peliputan dadakan di Hokkaido tadi subuh," ah, aku lupa kalau kakak sepupuku itu adalah wartawan, "jadinya ya kita hanya bisa bertemu malam nanti. Jangan cemberut, dong!" Tawanya, memukul pelan bahu kananku, "Ojii-chan dan Obaa-chan kan bisa menemanimu. Takeru juga. Dan—Shouhei, mungkin?"
Aku hanya mendengus malas.
Shouhei. Dan Hikari, semakin tertawa lepas.
"Astaga! Jangan bilang padaku kalau Shouhei-kun masih mengejar—"
"Hikari-chan, sudah waktunya kau berangkat," bantahku, memberikannya senyuman sinis. Yah, pertanda bahwa aku tak suka hal-hal mengenai Shouhei kembali terangkat di permukaan. Jika membahas Shouhei, secara tidak langsung akan membahas Aira, dan kemudian membahas—
—
pipiku rasanya memanas lagi.Dan beruntung Hikari tidak melihatnya, karena sepupuku itu sudah tak ada di hadapan. Nampaknya melarikan diri begitu saja tepat setelah aku sedikit menegurnya barusan, dan masih terdengar suara tawa khasnya di luar sana. Aku hanya tersenyum kecil, menggeser pintu utama menutup. Namun gerakan itu terhenti ketika bola mataku mengerling hujan salju yang perlahan turun. Tipis, tidak setebal ketika semasa dulu.
Mengingatkanku pada permainan yang sering kami lakukan bersama ketika salju lebat di depan asrama. Aku dan
dia.
Labels: 1st POV, 2009, Fan-Fiction, Hikari, Karen
Monday, October 19, 2009 10:54 AM
Celotehan yang dikeluarkan oleh sepupuku seolah tak mampu membuatku tersadar dari lamunan. Aku tahu apa yang tengah ia bicarakan, aku mendengarnya; tentu saja—namun tak bereaksi apapun. Kubiarkan Junichi yang duduk di hadapannya menyetujui semua ucapannya, menanggapinya sesuka hati. Membiarkan mereka berdua terlarut dalam daftar rencana Agenda Tahun Baru yang akan dijalani kami bertiga dua hari lagi, suatu rutinitas tahunan sejak kami kecil. Sesuatu yang dilarang untuk dilewatkan, setidaknya untuk para Tateyama-Fukuyama muda seperti kami yang berdomisili di Hakamadote.
Jujur, aku sama sekali tak bisa mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Hikari. Pikiranku melayang ke antah berantah.
Ralat.
Sebenarnya aku masih memikirkan soal mimpi tadi pagi.
Mengherankan karena hanya sebagian kecil yang berhasil kuingat, sementara kepingan mimpi lainnya hilang sebagian. Puzzle-puzzle yang harus kucari lagi, dan entah akan terkumpul kapan; karena memang tak mudah untuk mengingat bunga tidur tersebut. Yang kuingat hingga detik ini adalah rasa
malu berlebih itu serta kehangatan yang dirasakan oleh bibirku—
—
dan wajahnya saat itu—
sangat—
—astaga.
Aku memang sudah gila.
"Karen?"
Ah, lagi-lagi. Suara kecil yang mungkin hampir tak terdengar telinga itulah yang berhasil membuyarkan alam bawah sadarku, mengembalikanku pada dunia yang seharusnya. Lirihan kecil Hikari dan sentilan pelannya pada hidungku sudah cukup untuk membuatku sadar, bahwa kini tengah bersama mereka. Dan aku tahu, kedua sepupuku ini sangat tidak suka diacuhkan begitu saja. Mengaduh kesakitan, aku mengusap hidungku yang sedikit memerah karena sentilan Hikari—mengerling pada mereka berdua. Dan apa yang kudapat? Tatapan penuh tanda tanya
.
"Lagi-lagi kau tidak mendengarkan kami," keluh Hikari, dengan dengusan kesalnya, "kau melamun, ya? Daritadi sikapmu aneh, tak seperti biasanya," lanjutnya, membuatku sedikit tersentak. Ah, ya, Hikari memang sangat sensitif dengan keadaanku, "kau sakit?"
Aku menggeleng.
"Tidak," jawabku, tersenyum pada keduanya, dan buru-buru melanjutkan sebelum Junichi angkat bicara, "aku baik-baik saja. Sehat, tak kurang satu apapun," tak mungkin kukatakan yang sejujurnya, bukan? "hanya saja sentilanmu tadi cukup menyakitkan, Hikari-chan."
Keduanya hanya tertawa pelan. Dan lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Pada akhirnya mereka tak kembali bertanya macam-macam padaku, bahkan kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus. Terdengar Junichi berusaha memberikan usulan baru untuk agenda tahun ini, namun Hikari setengah menolaknya. Aku sendiri tertawa kecil, namun kembali tak berbicara apapun. Kuketuk pelan sisi kanan kepalaku, berusaha menghilangkan mimpi yang menghantuiku sejak pagi tadi itu.
Dan kau tahu? Aku penasaran.
Sangat. Beratus pria yang kukenal, sama sekali tak kusangka
dia yang akan muncul dalam mimpiku. Di luar dugaanku—
—karena itu kubilang
gila.
Labels: 1st POV, 2009, Fan-Fiction, Hikari, Junichi, Karen
9:40 AM
Terasa nyata.Dan ketukan pelan di pintu kamarku itu pada akhirnya menyadarkanku, bahwa apa yang kualami beberapa detik lalu—bahkan menit—adalah sesuatu yang
fana. Pikiran alam bawah sadarku, yang pastinya tak akan pernah dan MUSTAHIL untuk terjadi. Mungkin bisa kukatakan dan kugarisbawahi saat ini dalam ingatanku, itu adalah mimpi TERMUSTAHIL yang pernah kualami.
Ah, ya, memang hanya mimpi. Namun sekali lagi, semuanya terasa begitu nyata.
Pintu kamarku mengayun terbuka, menampakkan sosok Okaa-sama dalam kesehariannya. Layaknya ibu rumah tangga modern biasa, tanpa atribut Kimono. Sosok yang begitu kurindukan setiap kali liburan musim dingin tiba, sekaligus kubenci ketika bibirnya mulai mengeluarkan mandat-mandat terusan dari Otou-sama.
Penerus tradisi tua.
Okaa-sama tak berbicara apapun. Aku tahu sejak tadi beliau berusaha membangunkanku, dan tak perlu lagi ia banyak bicara untuk menyuruhku bangkit dari tempat tidur. Meninggalkanku sendirian di kamar dan berdiri terpaku di depan cermin. Entah kenapa aku bergerak ragu mendekati benda yang tergantung di dinding kanan kamarku, mengerjap dengan ekpresi tidak percaya. Katakanlah bahwa kesadaranku belum pulih benar, namun aku hanya ingin memastikan sesuatu.
Kedua tanganku terjulur, dan perlahan jemari-jemariku menyentuh permukaan cermin. Bola mataku bergulir, entah mengapa kini bergerak terfokus pada bayangan wajahku di cermin. Pada satu bagian wajahku yang berwarna pink muda, tepat di bawah indera penciumanku. Tangan kananku bergerak, menyentuh permukaan lembut itu perlahan. Merabanya, ragu. Syarafku sendiri seolah berusaha menyerap informasi yang ada padanya, sekecil apapun. Dan hasilnya?
Nihil.Menggigit permukaan bawah bibirku ragu, jantungku berdegup kencang. Bisa kurasakan suhu tubuhku kini memanas, pembuluh darahku berdesir kencang dan seolah semuanya naik, berkumpul di puncak kepalaku. Tidak, ini bukan ekspresi kemarahan.
Sesuatu yang sangat lain. Seperti perwujudan rasa bahagia yang tak mampu tergambarkan maupun terurai dengan kata-kata, dan mungkin—kau bisa menganggapku gila.
Harus kuakui, ini belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku kembali menatap wajahku dalam cermin. Lihat? Merah,
seperti terbakar matahari. Kulitku yang tergolong putih mampu menampakkannya demikian, dan setidaknya itulah yang ada dalam pemikiran kedua orangtuaku jika melihatnya saat ini. Kedua telapak tanganku memegangi kedua pipi, dan masih ada hawa panas itu disana. Percayakah kalian aku seperti benar-benar terbakar?
Semuanya karena mimpi gila itu.
Padahal aku tak makan yang aneh-aneh semalam.
Labels: 1st POV, 2009, Fan-Fiction, Karen
Thursday, October 8, 2009 11:02 AM
PLUK!Matanya mengerjap.
Gumpalan kertas kecil mendarat di mejanya dengan sukses. Mengangkat alisnya keheranan, Karen meraihnya dan membuka gumpalan itu di bawah mejanya; sebisa mungkin tak terlihat oleh sang guru yang berada di depan kelas. Ishida yang menjadi teman sebangkunya pun tidak banyak berkomentar, membiarkannya begitu saja; tangannya malah sibuk mencoreti tidak jelas buku catatannya dengan pensil. Kertas mengerut itu pada akhirnya berhasil menunjukkan beberapa kalimat yang tertera di atasnya, deretan kanji tersusun rapi dengan garis-garis tipis. Kerenggangan setiap hurufnya menunjukkan kerapihan penulisnya.
Kau ngambek, ya?
Sei.
Sama sekali tak terbesit dalam pikirannya bahwa pesan singkat ini—
dari dia. Menolehkan kepalanya ke kiri perlahan, terlihat sosok Sei yang duduk tiga meja deretan kiri di belakang. Remaja itu nyengir lebar, pertanda bahwa dialah pelempar kertas itu.
"Dari siapa?" tanya Ishida, tepat ketika Karen meremas kertas itu dan meletakkannya di atas meja. Hanya dijawabnya dengan gelengan kepala kecil. Dirinya menarik nafas dalam, berusaha untuk tidak meladeni ulah sahabatnya itu sementara ini. Sedang tidak mood? Entah. Bisa dikatakan gadis ini setengah menghindari Izumi muda itu.
Alasannya?
PLUK!Gumpalan kertas lainnya mendarat di meja Ishida, dimana gadis itu kini terperanjat mengetahui ada yang hampir menimpukinya sesuatu. Karen mengerling ke belakang bersamaan dengan Ishida, dan dapat dipastikan Sei-lah si pelempar barusan. Lihat gaya pura-pura tidak tahunya? Langsung bersembunyi di balik buku?
Sangat khas dirinya.
"Dia lagi," gerutu Karen, meraih gumpalan itu dan kembali membukanya di bawah meja. Tulisan itu lagi, namun dengan bunyi kalimat yang berbeda. Membuat nafas gadis berambut bob itu tertahan sesaat.
Kau beneran ngambek padaku, ya? Karena lupa ulang tahunmu?
Bukan itu masalahnya, walau sebenarnya separuh benar. Sei memang tak mengucapkan sekedar kata selamat singkat pada Karen, namun bukan hal itu yang membuat sang gadis mengambil jarak dari remaja laki-laki itu. Menggigit bagian bawah dirinya dan meremas si kertas, lagi-lagi pesan tersebut tak dibalasnya. Diletakkannya begitu saja di atas meja bersama gumpalan pertama tadi. Ishida tak banyak berkomentar, hanya mengangkat alisnya; detik berikutnya kembali sibuk dengan bukunya. Karen sendiri kini berusaha fokus kembali pada penjelasan guru mereka di depan kelas, namun nampaknya percuma.
Ia kembali diganggu.
TUK!Dan kali ini, mengenai pundak kirinya.
Menoleh ke belakang, terlihat jelas bahwa Sei adalah pelakunya
lagi. Bibir remaja laki-laki itu bergerak, seolah menyatakan bahwa Karen harus membalas pesannya sesegera mungkin. Merasa bahwa dirinya takut tak digubris lagi, Sei bahkan bersiap melemparkan gumpalan lainnya lagi. Beberapa remasan kertas ada di mejanya dan ini membuat Karen menahan tawanya ketika mengambil kertas yang mengenai pundaknya, namun terjatuh ke lantai tatami. Apa yang membuat Sei begitu penasaran sehingga harus mempersiapkan amunisinya itu?
Konyol.
"Lebih baik kau balas saja," bisik Ishida, "nanti meja kita akan menjadi lautan kertas gara-gara ulahnya," lanjutnya, membuat Karen tersenyum kecil. Dibukanya remasan kertas itu, sementara bola matanya bergulir; membaca kalimat yang tertera di atasnya. Masih tulisan rapi itu lagi, dari pemilik yang sama.
Ayolah, aku tak tahan diam-diaman begini terus!
"IZUMI-SAN!"Sei
kepergok akan melempar remasan kertas lainnya, tepat ketika tangannya berada di belakang kepala. Remaja laki-laki itu hanya memberikan cengiran lebar pada Shimotsuki-sensei (dia galak, omong-omong) yang tadi menegurnya dengan suara keras, cukup untuk membuat murid sekelas menoleh padanya—termasuk Karen. Buru-buru diturunkannya kertas dalam genggamannya itu, tepat ketika Shimotsuki-sensei mengayunkan tangannya dan mengangkat gumpalan-gumpalan kertas lain yang ada di mejanya. Dan dalam sedetik kemudian, kertas-kertas itu melayang, kemudian terbakar tanpa sebab. Mantra lainnya dari sang guru.
Karen tertawa kecil.
Dan sementara itu, Sei hanya bisa tersenyum pasrah. Namun matanya tak lepas dari Karen.
Pikirkan saja sendiri!
KALLEN
Dan kau pikir Karen akan melemparnya balik pada Sei? Tentu tidak.
Senin, 18 Februari 2002
(Siang)Labels: 2002, Fan-Fiction, Karen
Tuesday, October 6, 2009 10:38 AM
Setengah jam terdiam di tempatnya.
Dan ia masih tak tahu harus diapakannya lagi benda itu selain menyimpannya baik-baik di dalam laci, setelah memberinya mantra anti-leleh tepat sejam yang lalu. Matanya mengerjap, pada akhirnya tangan kanannya kini terulur; meraih benda tersebut. Menatap kotak kecil transparan berpita biru dengan sejumlah cokelat koin di dalamnya itu dengan ragu, seolah tak yakin dengan apa yang akan dilakukannya nanti dengan benda tersebut. Takut nantinya langkah itu akan memberatkannya, atau membuatnya menyesal—kekhawatiran yang sangat tidak penting. Bola matanya bergulir, mengarahkannya pada kalender yang berdiri di atas meja belajarnya. Lingkaran kecil pada tanggal 14 Februari membuatnya menghela nafas panjang. Dan, meletakkan kembali kotak itu ke atas mejanya.
Baru kali ini ia merasa—galau.
Dia sudah memikirkannya matang-matang. Tahun ini tak akan ada yang berbeda, sama seperti tahun sebelumnya. Ia akan memberikannya sebagai sebuah kewajiban, tidak lebih. Tak peduli apakah yang bersangkutan nantinya senang menerimanya atau tidak, memakannya ataupun membuangnya; toh yang penting dirinya sudah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Cokelat-cokelat koin yang berada dalam kotaknya masing-masing itu adalah
Giri-choco-nya tahun ini untuk teman-teman terdekatnya, dan beberapa sepupunya. Enambelas koin dalam satu kotak, seolah mengisyaratkan pergantian umurnya tepat di harinya nanti.
Mengerjap, sepasang bola matanya menatap kotak yang tadi sempat disentuhnya.
Karen sudah memperhitungkan semuanya, siapa saja yang akan ia beri nantinya. Dan entah mengapa, ia mempertimbangkan ulang lagi daftarnya itu; berniat menghapus satu nama. Gadis itu
takut.
Tiga tahun yang lalu ketika memberikan cokelatnya, cengiran lebar dan ucapan terima kasih itu yang diterimanya. Masih tidak apa-apa.
Dua tahun lalu, ketika memberikan cokelatnya lagi pada orang yang sama, Karen masih bisa melihat cengiran lebar itu. Dan ucapan terima kasih masih ia dengar, namun entah mengapa terasa agak sedikit janggal. Seperti terpaksa.
Dan setahun yang lalu, Karen sama sekali tak bisa memberikan cokelatnya—secara langsung. Entah apa yang terjadi, orang itu malah memintanya untuk meletakkan si cokelat ke dalam kolong mejanya saja. Dengan kata lain, saat itu Karen tak bertatap muka dengannya.
Tahun ini?
Entahlah. Gadis itu ragu.
Semuanya gara-gara kejadian tadi sore. Mengingatnya saja sudah membuat dadanya sakit. Seandainya waktu itu dirinya tak ada disana, mungkin ceritanya akan jadi sangat lain. Perasaan sesak itu masih ada hingga saat ini, membuatnya jadi agak sulit bernafas tiap kali mengingatnya.
Mengapa dirinya
harus menjadi orang terakhir yang tahu?
Minggu, 10 Februari 2002
(Malam)
Labels: 2002, Fan-Fiction, Karen