Monday, October 19, 2009 9:40 AM
Terasa nyata.Dan ketukan pelan di pintu kamarku itu pada akhirnya menyadarkanku, bahwa apa yang kualami beberapa detik lalu—bahkan menit—adalah sesuatu yang
fana. Pikiran alam bawah sadarku, yang pastinya tak akan pernah dan MUSTAHIL untuk terjadi. Mungkin bisa kukatakan dan kugarisbawahi saat ini dalam ingatanku, itu adalah mimpi TERMUSTAHIL yang pernah kualami.
Ah, ya, memang hanya mimpi. Namun sekali lagi, semuanya terasa begitu nyata.
Pintu kamarku mengayun terbuka, menampakkan sosok Okaa-sama dalam kesehariannya. Layaknya ibu rumah tangga modern biasa, tanpa atribut Kimono. Sosok yang begitu kurindukan setiap kali liburan musim dingin tiba, sekaligus kubenci ketika bibirnya mulai mengeluarkan mandat-mandat terusan dari Otou-sama.
Penerus tradisi tua.
Okaa-sama tak berbicara apapun. Aku tahu sejak tadi beliau berusaha membangunkanku, dan tak perlu lagi ia banyak bicara untuk menyuruhku bangkit dari tempat tidur. Meninggalkanku sendirian di kamar dan berdiri terpaku di depan cermin. Entah kenapa aku bergerak ragu mendekati benda yang tergantung di dinding kanan kamarku, mengerjap dengan ekpresi tidak percaya. Katakanlah bahwa kesadaranku belum pulih benar, namun aku hanya ingin memastikan sesuatu.
Kedua tanganku terjulur, dan perlahan jemari-jemariku menyentuh permukaan cermin. Bola mataku bergulir, entah mengapa kini bergerak terfokus pada bayangan wajahku di cermin. Pada satu bagian wajahku yang berwarna pink muda, tepat di bawah indera penciumanku. Tangan kananku bergerak, menyentuh permukaan lembut itu perlahan. Merabanya, ragu. Syarafku sendiri seolah berusaha menyerap informasi yang ada padanya, sekecil apapun. Dan hasilnya?
Nihil.Menggigit permukaan bawah bibirku ragu, jantungku berdegup kencang. Bisa kurasakan suhu tubuhku kini memanas, pembuluh darahku berdesir kencang dan seolah semuanya naik, berkumpul di puncak kepalaku. Tidak, ini bukan ekspresi kemarahan.
Sesuatu yang sangat lain. Seperti perwujudan rasa bahagia yang tak mampu tergambarkan maupun terurai dengan kata-kata, dan mungkin—kau bisa menganggapku gila.
Harus kuakui, ini belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku kembali menatap wajahku dalam cermin. Lihat? Merah,
seperti terbakar matahari. Kulitku yang tergolong putih mampu menampakkannya demikian, dan setidaknya itulah yang ada dalam pemikiran kedua orangtuaku jika melihatnya saat ini. Kedua telapak tanganku memegangi kedua pipi, dan masih ada hawa panas itu disana. Percayakah kalian aku seperti benar-benar terbakar?
Semuanya karena mimpi gila itu.
Padahal aku tak makan yang aneh-aneh semalam.
Labels: 1st POV, 2009, Fan-Fiction, Karen