Sunday, January 10, 2010 10:22 AM
"—TIDAK!"
Aku menatapnya galak. Memasang ekspresi yang terang-terangan menolak atas apa yang tengah ia ajukan padaku; hal mustahil dan tidak mungkin untuk aku laksanakan bahkan untuk menurutinya saja enggan. Sempat aku terdiam mendengarnya, hampir terkecoh, dan pada akhirnya kata penolakan itulah yang keluar dari bibirku.
Sepupuku, Hikari, ternyata lebih
gila dari apa yang kubayangkan. Dan kukira aku sudah mengenalnya dengan baik!
"AYOLAH!" Teriaknya, kembali memaksa dan semakin mengacungkan benda itu ke arahku, "Kan cuma COBA! Lagipula belum pasti akan kita beli atau tidak," celetuknya dengan nada setengah kesal. Aku kembali menggeleng, menggigit bibir bawahku dan menatapnya ragu. Penolakan itu masih terpancar dari mataku, namun mata Hikari sebaliknya. Ia benar-benar memaksaku untuk memakai
itu. Katakanlah sekarang aku bertingkah kekanakan di luar diriku pada normalnya, tapi—
"—tidakkah ada yang lain?" Menelan ludah, aku coba bertanya. Kalau ada pilihan lain mungkin aku akan kembali berpikir untuk memakainya, tapi kalau Hikari tetap memaksaku—astaga. Apa aku lebih baik lari saja? Hikari menggeleng keras, berjalan ke arahku dan menjejalkan satu set pakaian itu padaku. Ah, ini pertanda aku harus menyerah. Tatapan Hikari benar-benar tidak membuatku nyaman sekarang, yang berarti aku terpaksa menuruti kemauannya.
"Baiklah," ujarku seraya menghela nafas berat dan menggenggam pakaian itu dengan ragu, sebenarnya masih sedikit enggan. Kupandangi benda yang ada di tanganku itu dan mengerling pada Hikari, "cuma coba, ya," aku menatapnya tajam, menghentikan langkahku di luar Kamar Pas. Entah mengapa ada sedikit perasaan tidak enak ketika kusadari tadi Hikari sempat terkikik pelan—ada sesuatu yang tidak beres. Aku tahu. Tapi—
"Iya, iya! Sudah, sana masuk," ia membuka tirai dan mendorongku masuk ke dalam, meninggalkan aku sendirian ketika tirainya di tutup. Hikari menunggu di luar, katanya. Aku sendiri menengadah, menatap lurus cermin di hadapan dan mengangkat apa yang diberikan Hikari padaku—menempelkannya pada tubuhku dan kembali menghela nafas berat.
Swimsuit two-pieces warna kuning lembut dengan garis cyan.Apa sih yang ada di otak sepupuku itu?
—o0o—
"Sudah selesai?" Aku terkesiap menyadari sepupuku itu menyibak tirai sedikit, mengintip dari luar tepat ketika aku sedang mematut di depan cermin dan membenahi beberapa bagian yang terasa tidak nyaman. Swimsuit ini terlalu—
terbuka, menurutku. Aku tak terlalu nyaman dengan ini sebenarnya, kebanyakan swimsuit yang kumiliki adalah
one-piece; itupun lebih sering kugunakan ketika kegiatan Klub Renang. Aku membalikkan badan dan mendapati Hikari sudah berada di hadapanku sekarang, dengan mimik serius bahkan sesekali mengangguk. Bak sedang memastikan sebuah benda antik.
"Aku merasa—sedikit aneh," lirihku pelan namun tak dihiraukan oleh Hikari, karena detik berikutnya sepupuku itu nyengir lebar dan menepuk-nepuk bahuku; sepertinya hendak menenangkan aku bahwa yang kurasakan itu hanya karena masih belum biasa.
"Tenang, tenang! Karena baru pertama kali makanya agak terasa sedikit aneh. Bagus kok, cocok untukmu," senyumnya lebar seraya membalikkanku kembali menhadap cermin. Kedua tangannya berada di bahuku. Aku menatap bayanganku di cermin, benar-benar tidak yakin dengan apa yang kulakukan—aku benar-benar tidak terlalu suka pakai yang
beginian. Bagian perut rasanya dingin.
"Kau harus mulai terbiasa dengan ini, Karen," Hikari menepuk-nepuk pundakku, "setidaknya kau harus berbuat sesuatu sebelum si Izumi berpaling—"
Bicara apa dia barusan?
"—m-maksudku, di usiamu sekarang adalah hal yang biasa untuk memakai model swimsuit seperti ini," lanjut Hikari dengan agak terbata, membuatku sedikit curiga, namun sepupuku itu terburu mengalihkan pembicaraan dengan cara menyibak tirai penutup dan melangkah mundur, cengiran miris tertera di wajahnya. Aku benar-benar curiga dengan segelintir kalimat yang tak sengaja keluar dari bibirnya barusan—mengapa ia menyebut-nyebut nama Sei? Jelas tidak ada Izumi lain yang ia ketahui selain Sei.
Gelisah, aku membalikkan badan dan menyibakkan tirai, masih dalam balutan swimsuit berwarna cerah itu. Tirai hanya kubuka sebagian, namun cukup untuk menampakkan penampilanku saat ini juga—ketidaksengajaan yang akhirnya berujung petaka. Setidaknya menurutku.
"Hikari—"
Dan kalimatku terhenti sampai disitu begitu menyadari siapa yang tengah menganga lebar di sebelah Hikari sekarang. Dari tatapannya aku tahu ia sama terkejutnya denganku.
"—Karen?"
Kamisama.
"S-Sei?"
Tolong sembunyikan aku sekarang juga. DIMANA SAJA, KAMISAMA! Astaga, aku sama sekali tidak mengharapkan keberadaannya saat ini, detik ini, ketika penampilanku masih—YA-TU-HAN. Yang aku tahu adalah detik berikutnya, kuraih tirai terburu-buru dan menutup Kamar Pas tersebut dengan panik. Jantungku rasanya lepas dari posisi awalnya belum lagi ditambah dengan degup begitu cepat—aliran darahku serasa berkumpul semua di kepala. Aku yakin wajahku pasti kini tengah merah padam, siapa yang tidak? Aku tidak habis pikir bagaimana Sei berada disini, tanpa sepengetahuanku—Hikari bahkan tak bicara apapun padaku. Sengaja atau tidak?
Yang pasti sekarang aku sangat malu.
Malu. Mendapati Sei melihatku dengan penampilan seperti ini adalah hal yang sama sekali tak pernah kubayangkan, walau sebenarnya bisa dikategorikan biasa saja jika aku memakai one-piece. Kami sama-sama berada di Klub Renang, lagipula, namun untuk soal two-pieces—aku tak berani membayangkan apa yang ada di pikirannya saat ini setelah melihatku.
Aku harus membuat perhitungan dengan Hikari. Lihat saja!
"HUWAHAHAHAHAHAHAHA! SEDANG MELAWAK, EH?!"
—oke. Bukan reaksi seperti itu yang kuharapkan. Gelak tawa. Dua menit kudengar tawa kurang ajarnya itu di balik tirai, membuatku menggigit bagian bawah bibir dan entah mengapa kepalan tanganku mengeras. Rasanya ingin sekali menghajar anak itu sekarang juga! Apa maksud dari tawanya itu? Mentertawakanku? Oh, ya, pastinya. Memangnya ada objek lain disini?
"Sei-kun! Tidak sopan!" Hikari berusaha mendiamkan Sei di luar sana. Dan aku tahu betul usahanya sia-sia.
"Habisnya—kau tidak pantas pakai itu, Karen. Serius!"
Boleh aku keluar dan menamparnya?
"APA MAKSUDMU?" Dan pada akhirnya aku terpancing dengan sederet kalimat yang keluar dari bibir Sei barusan. Berbalik dan membuka tirai yang ada di hadapanku dengan emosi (geram, bahkan) dan rasa kemarahan di ubun-ubun—ah, kucerna kata-kata Sei beberapa detik lalu sebagai sebuah
ejekan. Lagi-lagi aku terpancing.
Jebakan?
Entah.
Kutatap galak Sei yang ada di hadapanku saat ini, menggigit bagian bawah bibirku. Aku tidak peduli bagaimana penampilanku sekarang; benar-benar lupa bahwa swimsuit berwarna cerah itu masih menempel di tubuhku dan memperlihatkan hampir semua bagiannya—terutama perut. Tidak, kemarahan dan emosi sudah membalutku dengan sempurna. Melupakan segalanya.
Aku ini kenapa, omong-omong?
"Ya—" Sei menghentikan tawanya, bergerak mundur namun kulihat ia masih menahan tawa, "—tidak cocok. Benar-benar—HMPF," dan pipinya kini semakin menggembung, tawanya masih tertahan, namun beberapa detik kemudian kembali menggelegar. Aku tertunduk, kedua tanganku mengepal. Mataku menyipit dan menatapnya galak, kugigit bagian bawah bibirku keras-keras pertanda bahwa aku sudah tidak tahan lagi dengan tawanya. Hikari menatapku dengan pasrah, jelas sekali ia merasa bersalah. Aku mendengus.
"Kurasa Sei-kun hanya bercanda," ujar Hikari kemudian berusaha menenangkan suasana dan menghampiri Sei dengan tangan berada di pundak pemuda itu, "model dan warnanya sangat cocok kok dengan Karen! Ya kan, Sei-kun? Ah, Karen, mungkin Sei-kun hanya malu saj—"
"Aku tidak bercanda, senpai. Karen memang tidak cocok pakai yang begin—HMPF—HUAKAKAKAKAK!"
Kamisama. Boleh minta lubang terdalam menuju pusat bumi sekarang juga? Dan dua baskom air untuk menyiram sepupuku itu? Seharusnya tak kuturuti permintaannya, aku jadi merasa bodoh.
Sangat bodoh.
PLAKK!Tanganku bergerak, melayangkan sebuah tamparan ke pipi kanannya. Aku menarik nafas dalam, menurunkan tanganku dan menatapnya perih. Dan bisa kurasakan ada yang jatuh mengalir di pipiku. Emosiku benar-benar tak terkontrol sekarang. Dan semua ini hanya karena sebuah kalimat yang keluar darinya.
"Terima kasih atas
pujianmu,
Seishirou."
Mana tahu dia kalau sekarang rasanya ada yang merobek-robek bagian dalam tubuhku? Rugi rasanya jantungku sempat berpacu cepat ketika tahu Sei melihatku dalam keadaan begini. Aku sendiri bingung mengapa begitu mengharapkan darinya keluar kata pujian tulus—aku belum pernah menerima itu darinya. Membalikkan badan dan kembali menutup tirai pembatas itu, aku menatap cermin. Sadar bahwa air mata itu masih mengalir.
Sei tega.
Labels: 1st POV, Fan-Fiction, Karen-Sei