Monday, August 24, 2009 5:07 AM
"Tidak seru."
"Yeah."
"Kau tahu, Hikari? Karen memang selalu begitu. Tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada dunia olahraga—"
"Err—Jun-chan, JELAS dia TAK AKAN TERTARIK kalau kau terus membicarakan baseball."
"Aneh rasanya kalau tidak suka baseball. Ayolah Hikari, mengakulah! Kau juga senang base—"
"—kalau sepakbola kurasa beda masalahnya. Aku benar kan, Karen-chan?"Hening sejenak. Kedua remaja itu menatap gadis berambut bob yang duduk di sofa empuk berwarna biru cerahnya. Mengerjap pelan, menunggu reaksi sang gadis yang tengah menatap keduanya dengan dahi mengeryit. Pada akhirnya, Karen—nama gadis berkulit langsat itu—menghela nafas panjang, mengambil remote televisi dan menyuruh kedua sepupunya menyingkir karena berada tepat di depan kubus elektronik si media komunikasi satu arah. Wajahnya berubah jadi agak sedikit galak.
"Para sepupuku yang tersayang, tidakkah anda berdua menyadari? Telah mengganggu kegiatanku di siang yang damai ini bersama satu-satunya alat hiburan di rumahku selain buku? Dan bolehkah kupinta anda berdua untuk
menyingkir? Secepatnya? Televisinya terhalang."
"Oh."Dan tak perlu waktu lama bagi Junichi serta Hikari untuk menyingkir dari depan televisi, membiarkan Karen menikmati dunia autisnya sesaat dengan televisi. Jemarinya menekan-nekan tombol remote control dengan tidak sabaran, merasa agak sedikit kesal karena tidak berhasil menemukan satupun acara yang menarik—bahkan termasuk MTV Japan kesukaannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa PV Debut dari Misia akan muncul di layar cembung itu. Menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, pada akhirnya ia mematikan kotak ribuan cahaya pixelate tersebut dan melemparnya ke arah Junichi. Membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup kedua matanya.
Junichi Tateyama, sepupu yang lebih tua tiga tahun darinya, mengangkat alis. Memberikan pandangan bertanya pada Hikari Fukuyama yang ada di sebelahnya. Terpaut dua tahun lebih tua dari usia Karen. Kini keduanya saling bertatapan, mengangkat bahunya kebingungan dan menoleh pada Karen. Sepupu jauh mereka.
"Dia benar-benar tidak seperti biasanya," bisik Hikari, disetujui oleh Junichi dengan anggukan kecil,
"yeap. Aku tahu dia memang pendiam, namun kali ini rasanya keterlaluan. Jangan-jangan ada komponen otaknya yang ru—""Jun-chan, Hikari-chan."
"Ya?" Keduanya menoleh,
nyengir, menanggapi Karen yang kini telah berdiri di hadapan mereka tiba-tiba. Gadis yang tingginya kurang dari Hikari itu menatap kedua kakak sepupunya bergantian, kemudian mengulurkan sesuatu yang semenjak tadi disembunyikannya dari balik punggung. Dagunya terangkat, dan ia menarik nafas dalam-dalam. Seperti tengah bersiap untuk mengatakan sesuatu.
Namun buntalan berwarna hijau yang ada di kedua tangan Karen, sudah lebih dari cukup.
"RYOKUBITA!" Junichi dan Hikari JELAS mengenali benda itu, dan seharusnya Karen tak perlu lagi menduga bahwa reaksi keduanya akan seperti ini. Sang gadis belia kurus memutar bola matanya, sedikit berdecak; membiarkan sepupu-sepupunya itu merebut si buntalan hijau dari kedua tangannya. Melipat kedua tangannya di depan dada, kembali menatap bergantian Junichi dan Hikari yang tengah sibuk membuka dan ber-'OOOHHH' ria melihat isinya.
"Baru saja kuterima dua hari yang lalu," ujarnya pelan, membalikkan diri dan kembali duduk di sofanya. Kali ini duduk bersila di atasnya, "gomen, terlambat untuk memberitahu kalian. Karena akupun sendiri, masih ragu akannya," ujarnya, dan ditanggapi Hikari dengan senyuman. Mengeluarkan lembaran-lembaran surat yang telah diisi dengan tulisan tangan rapi, membukanya satu-persatu,
"Daijoubu. Aku juga dulu seperti itu, rasanya sulit untuk memberitahu Jun-chan dan Oba-san, nee?"
"Hontou?" Dan Hikari hanya memutar bola matanya ketika Junichi bereaksi seperti itu.
"Jadi?" Junichi mengerling adik sepupunya, Karen, memberikan cengiran luar-biasa lebar dan nada penasaran terdengar dari caranya bertanya,
"Seperti apa wujud yang mendatangimu?" Melirik Hikari yang antusias menggumamkan deretan kata yang tertera di atas surat, kemudian kembali lagi menatap Karen. Terlihat gadis itu enggan menceritakan kronologis kedatangan tamu tak diundang itu pada sepupunya. Bahkan kedua orang tuanya saja tertawa—menganggap bahwa Karen sudah memiliki gangguan kejiwaan dan harus diperiksa Psikolog. Ah, kedua orang tuanya itu; Karen tidak peduli apapun kata mereka.
Karen akan TETAP bersekolah disana. Persetan dengan Dojo Aikido milik ayahnya.
"Steak. Berekor belang-belang," mengangkat alisnya, dalam sekejap Karen membuat Hikari dan Junichi kembali menganga. Keduanya mengerjapkan mata, Hikari pun tergagap ketika bertanya. Seolah memastikan keadaan otak sepupu kecilnya itu baik-baik saja,
"K-kau yakin, Karen-chan?" dan Karen mengangguk, "Aku sedang lapar saat itu, mengertilah. Bayangkanlah bagaimana terkejutnya aku ketika menyaksikan sebuah steak daging raksasa entah-darimana muncul tiba-tiba. Bahkan, tepat ketika aku sedang menjalani latihan rutin di Dojo," Karen sendiri sempat berteriak ketakutan, jatuh tersungkur dan menyeret tubuhnya mundur menjauh dari si sosok
Niku-man. Ekor melambai di balik sosok itu jelas mematikan nafsu makannya secara tidak langsung.
"Yang sangat beruntung sekali, hanya akulah sendiri yang ada disana."
Hikari dan Junichi kembali bertatapan.
"Kau beruntung. Dulu dia muncul di hadapanku sebagai—bola baseball raksasa. Berekor."
"Dulu dia malah muncul di hadapanku—hmm—Takoyaki?"Junichi dan Karen mengangkat alisnya. Menatap Hikari keheranan.
"Ya terus kenapa? Kalian berdua kan tahu aku suka Takoyaki—"
"—intinya, kau belum membakarnya, kan? Lembaran ini?" Dan Junichi mengeluarkan tongkat sihirnya, kembali
nyengir, dan kini mengayunkannya ke arah lembaran di tangan Hikari. Kertas itu melayang, mengikuti arah gerakan tongkat, dan berhenti di udara. Mengerling Karen yang kini tengah tersenyum dan mengangguk, "Silakan, Jun-chan. Telah kulengkapi isinya."
Dalam sekejap, lembaran itu terbakar. Ayunan tongkat sihir Junichi memaku di udara, apinya padam dan tak ada satupun abu yang jatuh. Kertas itu telah lenyap, berpindah menuju Ryokubita—
—setidanya, itulah yang Karen dengar dari kedua sepupunya.
"Haaaai~, kita harus merayakan ini!" Hikari menepukkan tangannya, berjalan mendekati Karen dan menoleh pada Junichi,
"Setuju, Jun-chan?" Dan kakak sepupunya itu mengangguk kecil, memberikan cengiran lebar,
"Osh, tentu saja!""Hm," tersenyum kecil, Karen menatap Hikari dan Junichi bergantian, "Matcha Cake saja, ya?"
Bisakah kita katakan bahwa impian Karen kini selangkah menuju kenyataan?
Ya.
Bisa.
Labels: 1999, Hikari, Home, Junichi, Karen