Wednesday, January 6, 2010 12:01 PM
"Bagaimana?"
Pertanyaannya mengusik bacaanku. Menengadahkan kepala dan mengernyit, kuberikan pandangan bertanya : pertanda bahwa aku tak mengerti maksudnya. Bertanya soal penampilannya hari ini? Atau kacamata aneh yang bertengger di hidungnya? Atau--
"Aku keren, tidak?"
Tuh kan.
"Apa-apaan sih? Lepaskan itu," ujarku lirih dengan nada agak tajam, menghela nafas berat. Kacamata hitam berbentuk Kunci G Tangga Nada itu jelas menggangguku; ia terlihat sangat konyol. Tak habis pikir mengapa Sei memiliki benda itu--oh, ralat : ini
Sei yang aku bicarakan. Ini adalah salah satu 'keajaiban' yang dimilikinya selama lima tahun aku mengenalnya.
"Aku serius bertanya padamu, Karen!" Kacamata ganjil masih menutupi matanya, membuatku bergidik dan buru-buru mengalihkan pandangan kembali pada bacaan, "Kacamata ini keren, tahu! Cuma aku yang punya."
Aku menggulirkan bola mata malas. Sudah kesekian kalinya Sei bicara demikian.
"Dan semua orang tidak sepintar kau untuk menggunakannya di dalam kelas seperti ini, Seishirou Izumi."
Ya. Mungkin aku akan sangat maklum jika Sei menggunakannya di luar kelas--tapi, di dalam? Kurang gila apalagi anak itu? Demi Dewa Tengu, bisa-bisanya aku sekelas dan sebangku
lagi dengannya (empat tahun berturut-turut dengan posisi sama!) walau hal tersebut membuatku jadi kebal dengan sederet tingkah ajaibnya--dan rata-rata kesemuanya berhubungan dengan tradisi keluarga. Aneh : tapi nyata. Aku masih belum mengerti sepenuhnya tradisi Keluarga Izumi.
Sepertinya yang normal hanya Kiyoshi-san, ayahnya.
--dan Sei masih tidak melepaskan kacamata itu. Astaga. Padahal sudah lima menit berlalu sejak kedatangan Mori-sensei di dalam kelas, dan bisa kurasakan tatapan tajam tengah mengarah padaku serta Sei. Intinya cuma satu : err--kacamatanya Sei mengganggu. Mori-sensei tak perlu banyak bicara, cukup satu tatapan tajam pada korban dan semua masalah seolah selesai.
Aku melirik Sei yang duduk di sebelah kananku, berbisik dari ujung bibir sembari berusaha tersenyum pada Mori-sensei, "Lepas kacamatamu."
"Tidak mau."
Kamisama. Tingkahnya masih saja seperti balita. Padahal usianya sudah delapanbelas.
"Lepas kacamatanya,
Seishirou. Kau tidak lihat apa tatapan Mori-sensei barusan?"
"Tadi kau panggil aku apa?"
Seishirou?"Bilang aku keren, baru kulepas kacamatanya," ujar Sei setengah merengek, membuatku menarik nafas dalam.
Lihat?
Dasar bocah. Mataku mengerjap tak percaya mendengar permintaannya barusan. Astaga, kapan sih Sei dewasa? Aku tahu ia terkadang kekanakan, tapi kalau sudah begini--
Kamisama. Aku mengulum bibirku dan menatapnya ragu, berpikir apakah harus menuruti kemauannya itu. Sei malah nyengir lebar padaku dengan kacamata bodoh di hidungnya, membuatku menahan tawa, "Kau KEREN, Sei. Keren."
Dan dia menolak, "Karen! Yang barusan itu kau tidak tulus mengatakannya!"
Aku hanya tersenyum kecil padanya. Ternyata ketahuan.
"Harus tulus, baru aku mau lepas kacamata ini," pintanya lagi disertai dengusan kecil, membuatku menaikkan alis dan menatapnya agak galak.
"Kau ini kenapa, sih?" Tanyaku. Terdengar dari nada bicaranya bahwa Sei sepertinya agak sewot. Ekspresinya jadi serius sekarang, dan kacamata konyol itu benar-benar merusaknya. Wajah serius dipadu kacamata
bling-bling bukanlah ide bagus jika ingin bertingkah galak pada orang lain, kuakui itu. Lima detik lamanya aku menunggu jawaban, dan apa yang dilontarkannya membuatku terperanjat.
"Ternyata memang lebih keren Papaku?"
Ha?
"Kau bisa bilang keren ketika melihat Papa memakai kacamata. Kenapa aku tidak?"
--oke. Aku benar-benar tidak mengerti ada apa dengan Sei hari ini. Dahiku mengernyit, mataku kembali menatapnya kebingungan, sementara bibirku tak terkatup rapat. Anggaplah aku sedikit bingung mengaitkan soal kacamata-keren ini, karena seingatku Kiyoshi-san--
"Karena
Papamu pakai kacamata hitam NORMAL," jawabannya mudah saja, toh? Aku mendengus pelan sembari menggulirkan malas bola mataku padanya, masih agak bingung sebenarnya. Sei kembali bicara, dan kali ini masih terlihat tidak puas.
Aku tahu dia cemburu.
Aku tahu.
"Kacamata yang kupakai ini termasuk NORMAL!" Bantahnya dengan suara pelan agar tak terdengar Mori-sensei di depan sana, yang masih mengawasiku dan dirinya dengan tajam. Keuntungan duduk di bangku belakang, kupikir. Aku menghela nafas panjang, kembali menatapnya. Tidak, tidak, kali ini aku mengamati kacamata unik yang ia bilang NORMAL itu, kembali menahan tawa. Mengetuk permukaan lensa tidak berminus itu pelan.
"Ini tidak NORMAL, Sei. Ini ABSURD."
Terlalu kasar? Oh, hanya itu yang ada di pikiranku ketika melihatnya pertama kali. Lagi-lagi, Sei membantah. Astaga, ngotot sekali dia?
"Ini UNIK, Karen. BUKAN ABSURD," dengusnya.
--dan kenapa kami bertengkar soal kacamata, sekarang?
Aku tersenyum, mengulurkan tanganku dan menggapai kacamata berbentuk aneh itu--melepaskannya dari Sei, tidak peduli akan keterkejutannya mikrodetik kemudian. Ia marah, ngambek, terserah--yang pasti tatapan Mori-sensei dari depan kelas sungguh membuatku tidak nyaman. Kutatap kedua bola mata Sei lekat-lekat, berbisik pelan padanya.
"Kau lebih keren tanpa kacamata ini, Sei. Percayalah."
Jujur : dia memang lebih keren
begini.
"Dan bukan berarti kau tidak keren kalau pakai kacamata hitam. Hanya saja--" aku menarik nafas dalam, "--jangan
yang ini, oke?" kuacungkan kacamata aneh yang gagangnya sudah kulipat itu padanya sembari tertawa kecil, dan beberapa detik kemudian ia ikut tertawa. Matanya menatapku lekat, senyumnya mengembang--dan Sei tidak akan tahu rasanya jantungku hampir mencelos keluar sekarang juga. Entah semburat merah itu ada di pipiku atau tidak, aku balas tersenyum padanya, tipis, hingga pada akhirnya aku mengulurkan tanganku lagi dan bergerak mencubit pipi kirinya. Kebiasaan yang selalu kulakukan untuk menutupi rasa maluku. Salah tingkah.
Aku hanya tertawa ketika ia mengaduh.
"Sudah kukatakan, aku tak suka pipiku dicubit!" Keluhnya sembari menyingkirkan tanganku, "Memangnya aku bayi, apa?"
"Kalau kau tanya soal pipimu--iya," ujarku sembari tertawa kecil. Sei mendengus.
"Sepertinya aku masih jauh dari kata keren, ya, bagimu?" Ujarnya santai, dan Sei benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibirku terkatup rapat, pandanganku lurus ke depan dan bisa kurasakan pipiku memanas. Entah apa maksud dari kata-kata Sei, yang jelas membuatku agak--malu. Mori-sensei kini sudah mulai menjelaskan pelajarannya, dimana kata-katanya sama sekali tak masuk ke otakku gara-gara kalimat dari Sei.
Jadi daritadi itu--ia
memancingku?
"Aku dan Papa," Sei kembali bicara dan membuatku hampir jatuh dari kursi mendengarnya. Ah, parah sekali salah tingkahku ini, "siapa yang lebih keren?" Tanyanya dengan nada serius dan menatapku lekat lagi, benar-benar mengharapkan jawaban. Aku hanya bisa menganga dan menatapnya bingung (lagi), tahu ia berusaha
memancing lagi. Tapi dalam hatiku ada sedikit perasaan senang; karena sejak awal ia sepertinya takut aku lebih tertarik pada ayahnya dibanding ia.
Kecemburuan yang konyol? Inilah Sei.
"...Kau."
Dan kuharap ia puas. Tahu tidak kalau wajahku sekarang sudah seperti kepiting rebus?
Labels: 1st POV, Fan-Fiction, Karen-Sei