Monday, October 19, 2009 10:54 AM
Celotehan yang dikeluarkan oleh sepupuku seolah tak mampu membuatku tersadar dari lamunan. Aku tahu apa yang tengah ia bicarakan, aku mendengarnya; tentu saja—namun tak bereaksi apapun. Kubiarkan Junichi yang duduk di hadapannya menyetujui semua ucapannya, menanggapinya sesuka hati. Membiarkan mereka berdua terlarut dalam daftar rencana Agenda Tahun Baru yang akan dijalani kami bertiga dua hari lagi, suatu rutinitas tahunan sejak kami kecil. Sesuatu yang dilarang untuk dilewatkan, setidaknya untuk para Tateyama-Fukuyama muda seperti kami yang berdomisili di Hakamadote.
Jujur, aku sama sekali tak bisa mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Hikari. Pikiranku melayang ke antah berantah.
Ralat.
Sebenarnya aku masih memikirkan soal mimpi tadi pagi.
Mengherankan karena hanya sebagian kecil yang berhasil kuingat, sementara kepingan mimpi lainnya hilang sebagian. Puzzle-puzzle yang harus kucari lagi, dan entah akan terkumpul kapan; karena memang tak mudah untuk mengingat bunga tidur tersebut. Yang kuingat hingga detik ini adalah rasa
malu berlebih itu serta kehangatan yang dirasakan oleh bibirku—
—
dan wajahnya saat itu—
sangat—
—astaga.
Aku memang sudah gila.
"Karen?"
Ah, lagi-lagi. Suara kecil yang mungkin hampir tak terdengar telinga itulah yang berhasil membuyarkan alam bawah sadarku, mengembalikanku pada dunia yang seharusnya. Lirihan kecil Hikari dan sentilan pelannya pada hidungku sudah cukup untuk membuatku sadar, bahwa kini tengah bersama mereka. Dan aku tahu, kedua sepupuku ini sangat tidak suka diacuhkan begitu saja. Mengaduh kesakitan, aku mengusap hidungku yang sedikit memerah karena sentilan Hikari—mengerling pada mereka berdua. Dan apa yang kudapat? Tatapan penuh tanda tanya
.
"Lagi-lagi kau tidak mendengarkan kami," keluh Hikari, dengan dengusan kesalnya, "kau melamun, ya? Daritadi sikapmu aneh, tak seperti biasanya," lanjutnya, membuatku sedikit tersentak. Ah, ya, Hikari memang sangat sensitif dengan keadaanku, "kau sakit?"
Aku menggeleng.
"Tidak," jawabku, tersenyum pada keduanya, dan buru-buru melanjutkan sebelum Junichi angkat bicara, "aku baik-baik saja. Sehat, tak kurang satu apapun," tak mungkin kukatakan yang sejujurnya, bukan? "hanya saja sentilanmu tadi cukup menyakitkan, Hikari-chan."
Keduanya hanya tertawa pelan. Dan lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Pada akhirnya mereka tak kembali bertanya macam-macam padaku, bahkan kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus. Terdengar Junichi berusaha memberikan usulan baru untuk agenda tahun ini, namun Hikari setengah menolaknya. Aku sendiri tertawa kecil, namun kembali tak berbicara apapun. Kuketuk pelan sisi kanan kepalaku, berusaha menghilangkan mimpi yang menghantuiku sejak pagi tadi itu.
Dan kau tahu? Aku penasaran.
Sangat. Beratus pria yang kukenal, sama sekali tak kusangka
dia yang akan muncul dalam mimpiku. Di luar dugaanku—
—karena itu kubilang
gila.
Labels: 1st POV, 2009, Fan-Fiction, Hikari, Junichi, Karen