Thursday, October 22, 2009 4:55 AM
"Jam sebelas malam—Kuil Shiroitsu. Bagaimana?"
Aku mengangguk kecil.
Hikari tersenyum puas, setidaknya itulah yang kulihat. Kurasa wajar saja, karena memang hampir beberapa tahun belakangan ini rasanya sulit sekali untuk berkumpul bertiga, karena itulah jangan heran ia nampak antusias dengan rencananya sejak dua hari lalu. Junichi dan Hikari sama-sama telah memiliki pekerjaan, walau Hikari pada akhirnya memutuskan untuk kuliah lagi—di Universitas Tokyo.
"Di tempat biasa, bukan? Gerbang Torii kelima," sungguh hingga saat ini aku tak tahu ada berapa jumlah Torii di Kuil Shiroitsu saking banyaknya, berjejer rapi membentuk satu barisan, "tapi—setengah dua belas bukannya terlalu mepet sekali waktunya? Kau sendiri tahu betapa ramainya tempat itu setiap tahun baru, Hikari-chan."
Tersenyum lagi. Sungguh tak bisa kuartikan.
"Ini hari libur," keluhku, karena tak habis pikir bagaimana Hikari (dan Junichi) masih bisa bekerja di hari menjelang tahun baru itu, "memangnya kalian tak ambil cuti?" Memang terdengar sangat bodoh, bekerja mendekati hari libur nasional. Dan percayakah kalian aku meragukan alasan yang keluar dari mereka berdua?
Harus percaya. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, mereka berdua sepertinya menyembunyikan sesuatu.
Tanpa sepengetahuanku. Padahal sebelumnya, Hikari dan Junichi selalu terbuka padaku—terutama Hikari.
Nampaknya—aku harus sedikit berhati-hati.
"Jatah cutiku sendiri sudah habis," tawa Hikari miris, "Jun-chan ada peliputan dadakan di Hokkaido tadi subuh," ah, aku lupa kalau kakak sepupuku itu adalah wartawan, "jadinya ya kita hanya bisa bertemu malam nanti. Jangan cemberut, dong!" Tawanya, memukul pelan bahu kananku, "Ojii-chan dan Obaa-chan kan bisa menemanimu. Takeru juga. Dan—Shouhei, mungkin?"
Aku hanya mendengus malas.
Shouhei. Dan Hikari, semakin tertawa lepas.
"Astaga! Jangan bilang padaku kalau Shouhei-kun masih mengejar—"
"Hikari-chan, sudah waktunya kau berangkat," bantahku, memberikannya senyuman sinis. Yah, pertanda bahwa aku tak suka hal-hal mengenai Shouhei kembali terangkat di permukaan. Jika membahas Shouhei, secara tidak langsung akan membahas Aira, dan kemudian membahas—
—
pipiku rasanya memanas lagi.Dan beruntung Hikari tidak melihatnya, karena sepupuku itu sudah tak ada di hadapan. Nampaknya melarikan diri begitu saja tepat setelah aku sedikit menegurnya barusan, dan masih terdengar suara tawa khasnya di luar sana. Aku hanya tersenyum kecil, menggeser pintu utama menutup. Namun gerakan itu terhenti ketika bola mataku mengerling hujan salju yang perlahan turun. Tipis, tidak setebal ketika semasa dulu.
Mengingatkanku pada permainan yang sering kami lakukan bersama ketika salju lebat di depan asrama. Aku dan
dia.
Labels: 1st POV, 2009, Fan-Fiction, Hikari, Karen